Suatu nuansa yang berbeda akan terasa ketika memasuki perpustakaan pribadi bapak Harry Efendy Iskandar, seorang dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unand. Ruangan perpustakaan pria kelahiran Pariaman, 6 Maret 1976 ini dipenuhi oleh buku-buku berbau Sastra dan Sejarah. Di ruangan ini tergambar sosok sebenarnya seorang Hary yang di dunia kampus juga dikenal akrab dengan mahasiswa. Tidak ada batasan antara dosen dan mahasiswa di ruangan ini.
Dosen muda yang pernah menempuh pendidikan di SDN 01 Sungai Sirah, SMP 1 Sungai Limau dan SMA 1 Sungai Limau ini juga sering berdiskusi dengan mahasiswanya di ruangan favoritnya tersebut. Setelah mendapatkan gelar sarjana di Universitas Andalas tahun 2001, ayah tiga anak ini melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada dari tahun 2007-2010.
Kilas balik kehidupan masa lampau membawa mantan aktivis organisasi kampus ini mengenang betapa “hidupnya” organisasi di masa perkuliahannya dulu. Organisasi pada saat itu merupakan masa peralihan dari Orde Baru yang nantinya akan mengantarkan masyarakat Indonesia menuju babak baru pemerintahan bernama Era Reformasi.
Pada masa itu, gerakan mahasiswa mampu mendorong presiden Soeharto untuk segera lengser dari jabatannya. Gerakan ini juga mempengaruhi keadaan organisasi di Sumatra Barat yang mengakibatkan terjadinya perubahan dikalangan mahasiswa. Hampir di seluruh daerah terbentuk konsolidisasi kekuatan Sumbar. Ada pihak yang mendukung Habibie sebagai presiden dan ada pula yang menolak. Ini merupakan titik awal terjadinya polarisasi tingkat mahasiswa atau lebih tepatnya disebut pengelompokan antar mahasiswa. Perkembangan selanjutnya pada masa reformasi (pemerintahan B.J. Habibie-red), gerakan mahasiswa terpecah dan muncul kekuatan baru akibat adanya hembusan angin kebebasan menuju keterbukaan informasi atau transparasi segala bidang.
Bercerita lebih lanjut mengenai organisasi, beliau menuturkan pada masa reformasi di bawah pimpinan presiden B.J. Habibie, kebebasan merupakan sarana efektif untuk kita menjadi lebih kreatif, seperti adanya gerakan sosial kemasyarakatan. Namun, pasca reformasi kehidupan partai politik semakin berkembang sehingga esensi organisasi pun mulai berbau partai politik.
Menurut Pembina Imapar Kota Padang dan Unand ini, seiring berjalannya waktu, kehidupan organisasi tidak sehangat pada masa dahulu. Hal ini sangat berbeda jelas pada masa kuliah penulis buku Inyo Ajo Awak Juo : Solidaritas Primitif dari dan Kekuasan dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Padang Pariaman di Unand dahulu. Hal tersebut bisa saja disebabkan makna dan fungsi dari organisasi itu sendiri sudah tidak lagi sama. Bisa dilihat sekarang, ketika sudah berorganisasi semakin lama anggotanya semakin menghilang.
“Sekarang memang terjadi penurunan dari segi organisasi di mata saya”, ujar dosen yang juga pernah menjabat Sekretaris Jendral BEM Unand 1998-1999 ini. “Saat sekarang ini untuk menjadi aktif tidak seseksi pada masa saya. Kita lihat saja sekarang organisasi hanya sebentar dihinggapi oleh mahasiswa yang semata hanya untuk mencukupkan SAPS. Padahal pada masa saya tidak ada yang namanya SAPS tersebut, dan kami benar-benar memasuki dunia organisasi untuk menambah pengalaman. Tapi, saya sangat setuju dengan adanya program SAPS, karena akan semakin mendorong mahasiwa untuk semakin aktif di dunia organisasi dan tidak hanya kuliah. Ini tentunya sesuai dengan tuntunan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Walaupun awal mulanya dipaksa, namun lambat laun akan menumbuhkan kesadaran pada mahasiswa nantinya,” jelas Sekretaris Pusat Studi Humaniora Unand ini.
Lebih lanjut dosen yang juga pernah menulis buku “Mahasiswa dan Otoritarias Negara : Sketsa Gerakan Mahasiswa dari NKK/BKK ke Reformasi Sumatra Barat” ini menambahkan fakta kurangnya diskusi tentang kepemimpinan ( leadership ) serta dialetika antar mahasiswa yang tidak dilakukan secara berkesinambungan, bisa saja menjadi salah satu kurangnya minat mahasiswa terhadap organisasi. Dosen yang akrab dipanggil ajo ini menambahkan bahwa BEM seharusnya benar-benar bisa menyuarakan suara mahasiswa serta mensurvei apa-apa saja yang mahasiswa keluhkan.
Keberadaan teknologi tidak bisa menjamin organisasi semakin berkembang. Hal ini menurut ajo disebabkan interaksi face to face antar mahasiswa semakin berkurang, dan silahturahmi hanya di wakili oleh kata-kata saja sehingga timbul kecenderungan terjadinya distorsi nilai. Selain itu, perkembangan IT tidak dimanfaatkan dengan baik.
Pria yang aktif menulis di media lokal dan nasional ini menekankan bahwa keberadaan organisasi sangatlah penting, baik dimasa sekarang maupun dimasa kita memasuki dunia kerja. Organisasi dapat membantu seseorang dalam membangun relasi dimasa depan dan membiasakan sejak dini tata cara berbaur dengan lingkungan masyarakat. Cikal bakal seorang pemimpin juga dimulai dari organisasi. Menurut Ajo Hary Efendi Iskandar, mahasiswa yang ideal itu adalah mahasiswa yang mempunya IP yang tinggi dan juga aktif dalam berbagai organisasi. Pengalaman berorganisasi akan membekali dalam konteks mental di masyarakat nantinya.
Motivasi terpenting untuk memasuki organisasi adalah kita tidak egois, tidak memikirkan kepentingan diri sendiri dan mau berkorban demi orang lain karena disana kita akan mempersiapkan diri untuk mengurus orang lain. Ketika menjadi aktivis akan semakin memperbaiki waktu dan akan dituntut lebih bisa mengaturnya sebaik mungkin. Perlu motivasi yang jelas dan niat yang kuat untuk menjadi seorang aktivis.
“Harapan kedepannya, saya berniat melanjutkan S3 dan tetap mengabdi sebagai dosen, karena cita-cita saya sedari kecil menjadi guru. Hidup ini mengalir saja bagi saya, berusaha semaksimal mengkin, dan terkadang ada sesuatu yang memang tidak bisa dipaksakan “ begitulah nasihat ajo sambil mengakhiri cerita hari itu.>Midha
No comments:
Post a Comment
Mohon tidak memberi komentar yang sarat pelanggaran SARA. Terima kasih.